Di paragraf ke-4 dan paling akhir Piagam Jakarta, terdapat lima butir sila yang sekarang dipandang seperti sisi dari Pancasila:[21]
Ketuhanan, dengan kewajiban jalankan syariat Islam untuk pemeluk-pemeluknya
Kemanusiaan yang adil dan bermoral
Persatuan Indonesia
Kerakyatan yang dipegang oleh hikmat, kebijakan dalam pembicaraan/perwakilan
Keadilan sosial untuk semua masyarakat Indonesia
Dalam Piagam Jakarta, azas “ketuhanan” jadi sila pertama, sedangkan dalam perumusan Pancasila yang disampaikan oleh Soekarno dalam pidatonya pada 1 Juni 1945, “ketuhanan” adalah sila ke-5.[22] Ketidaksamaan paling besar di antara Piagam Jakarta dengan perumusan Pancasila Soekarno ialah kehadiran frasa “dengan kewajiban jalankan syariat Islam untuk pemeluk-pemeluknya”. Frasa yang dikenali panggilan “tujuh kata” ini mengaku syariat untuk Muslim.[23] Anggota Panitia Sembilan Abdoel Kahar Moezakir nantinya mengeklaim pada sebuah interviu pada Desember 1957 jika anggota yang lain berbagai ragama Kristen, Alexander Andries Maramis, sepakat “200%” dengan perumusan ini.[24] Perumusan tujuh kata sendiri dipandang rancu dan tidak dikenali apa perumusan itu membebankan kewajiban jalankan syariat Islam ke perorangan atau pemerintahan.[23] Walau bagaimanapun, Piagam Jakarta adalah hasil sepakat dan sila pertama kalinya bisa didefinisikan berlainan sesuai kebutuhan barisan Islam atau berkebangsaan.[25]
Sidang Sah Ke-2 BPUPK
Sesuai anjuran dari Panitia Sembilan, BPUPK melangsungkan sidang sah ke-2 nya dari 10 sampai 17 Juli 1945 di bawah pimpinan Soekarno. Maksudnya untuk mengulas persoalan berkaitan undang-undang dasar, termasuk perancangan mukadimah yang terdapat di dalam Piagam Jakarta.[26] Di hari pertama, Soekarno memberikan laporan beberapa hal yang sudah diraih sepanjang ulasan pada periode reses, termasuk Piagam Jakarta. Dia menyampaikan kabar jika Panitia Kecil sudah terima Piagam Jakarta secara bundar. Menurut Soekarno, piagam ini memiliki kandungan “seluruh pokok-pokok pikiran yang isi dada beberapa dibanding anggota-anggota Dokuritu Zyunbi Tyoosakai [BPUPK]”.[27]
Di hari ke-2 sidang (tanggal 11 Juli), tiga anggota BPUPK sampaikan penampikan mereka pada tujuh kata dalam Piagam Jakarta. Satu diantaranya ialah Johannes Latuharhary, seorang anggota berbagai ragama Protestan yang dari Pulau Ambon. Dia merasa jika tujuh kata dalam Piagam Jakarta akan memunculkan imbas yang “besar sekali” pada agama lain. Dia mengutarakan kekuatirannya jika tujuh kata itu akan memaksakan etnis Minangkabau tinggalkan tradisi istiadat mereka dan berpengaruh pada hak tanah yang berdasarkan pada hukum tradisi di Maluku.[28] Dua anggota yang lain tidak sepakat dengan 7 kata ialah Wongsonegoro dan Hoesein Djajadiningrat. Menurut Djajadiningrat, tujuh kata bisa memunculkan fanatisme karena seakan memaksa umat Islam untuk jalankan hukum syariat. Satu diantara anggota Panitia Sembilan, Top Hasjim, menolak terjadinya kemungkinan pemaksaan karena ada dasar pembicaraan. Dia memberi komentar jika walaupun ada anggota yang memandang tujuh kata itu “tajam”, ada juga yang menganggap “kurang tajam”.[29]
2 hari selanjutnya, pada 13 Juli, Hasjim menggagas peralihan Pasal 4 Perancangan Undang-Undang Dasar supaya Presiden Indonesia harus memeluk agama islam. Dia mengajukan usul supaya Pasal 29 Perancangan Undang-Undang Dasar (yang terkait dengan agama) diamendemen untuk jadikan Islam sebagai agama negara ditambahkan klausul yang jamin kebebasan berbagai ragama untuk golongan non-Muslim. Menurut dia, ini dibutuhkan hanya karena agama yang bisa benarkan pemakaian kemampuan untuk ambil nyawa dalam kerangka pertahanan nasional.[30][31] Anggota BPUPK yang lain, Otto Iskandardinata, melawan saran supaya Presiden Indonesia harus Muslim, dan mengajukan usul supaya tujuh kata di Piagam Jakarta diulangi dalam Pasal 29 Perancangan Undang-Undang Dasar.[32]
Piagam Jakarta diulas lagi di pertemuan yang diadakan pada 14 Juli, satu diantaranya karena ada gagasan untuk memakai isi pada piagam itu dalam maklumat kemerdekaan Indonesia.[33] Di pertemuan ini, Ketua Umum Muhammadiyah Ki Bagoes Hadikoesoemo mengajukan usul supaya frasa “untuk pemeluk-pemeluknya” dihapus. Soekarno menampik saran itu dengan argument jika tujuh kata adalah hasil sepakat:[34]
Menjadi panitia menggenggam tegar akan sepakats yang diberi nama oleh anggota yang terhormat Muh. Yamin “Jakarta Charter”, yang dibarengi pengucapan tuan anggota yang terhormat Soekiman, “Gentlemen Agreement”, agar ini digenggam tegar antara faksi Islam dan Berkebangsaan.[35]
Hadikoesoemo berpandangan jika umat Islam akan merasa direndahkan bila ada ketentuan yang berlainan untuk Muslim dan non-Muslim. Soekarno menjawab jika frasa itu dihapus, akan ada tafsiran jika golongan non-Muslim wajib jalankan syariat Islam. Hadikoesoemo menolak kekuatiran Soekarno karena menurut dia “Pemerintahan jangan mengecek agama”.[34] Pada akhirannya, Hadikoesoemo sukses diyakini oleh anggota lain dari kelompok Islam, Abikusno Tjokrosujoso, jika tujuh kata seharusnya didiamkan semacam itu untuk persatuan dan perdamaian.[34]
Di sore hari tanggal 15 Juli, Hadikoesoemo ajukan lagi sarannya. Sebab menganggap kekuatirannya tidak dijawab memberikan kepuasan, dia mengatakan penolakannya pada sepakat dalam Piagam Jakarta.[36][37] Selanjutnya, di tanggal 16 Juli, Soekarno buka pertemuan dengan permintaan ke barisan berkebangsaan untuk ingin berkorban dengan masukkan tujuh kata Piagam Jakarta ke tangkai badan undang-undang dasar dan dengan menambah klausul jika Presiden Republik Indonesia harus Muslim.[38] Barisan berkebangsaan penuhi permintaan ini, hingga BPUPK menyepakati sebuah perancangan undang-undang dasar yang memiliki kandungan tujuh kata di Mukadimah dan Pasal 29, dan sebuah klausul yang mengatakan jika Presiden Indonesia harus memeluk agama islam.[39]