Sejak tahun akhir 1960-an, beberapa perwakilan dari kelompok Islam mulai coba mengaplikasikan isi Piagam Jakarta lewat ketentuan perundang-undangan.[96] Tetapi, mereka harus tentukan apa arti dari kewajiban jalankan syariat Islam.[97] Seorang bekas praktisi Masyumi yang namanya Mohammad Saleh Suaidy mengatakan jika di akhir 1960-an, Piagam Jakarta bisa diwujudkan dengan: (1) menuntaskan perancangan hukum perkawinan Islam yang tetap diulas DPR; (2) atur penghimpunan dan pembagian zakat apabila mekanisme ini sukses, perancangan undang-undang berkenaan zakat bisa disarankan ke DPR; (3) menjadikan satu kurikulum pesantren di semua negeri; (4) tingkatkan keefisienan dan koordinir dakwah; (5) aktifkan lagi Majelis Ilmiah Islam untuk meningkatkan beberapa konsep penting pada agama Islam.[98]
Pada 22 Mei 1967, Departemen Agama mengajukan usul Perancangan Undang-Undang mengenai Ketentuan Perkawinan Ummat Islam ke DPRGR.[99] Pada bagian keterangan, tertera pengakuan jika karena ada Dekret 5 Juli 1959, Piagam Jakarta dipandang seperti sisi dari undang-undang dasar. Tetapi, pada Februari 1969, Fraksi Partai Katolik di DPRGR mengatakan penolakannya pada perancangan undang-undang ini. Mereka keluarkan sebuah memorandum yang membuat suatu dikotomi di antara negara berkebangsaan atau negara Islam. Menurutnya, bila perancangan undang-undang ini ditetapkan, bermakna dasar negara akan ditukar Piagam Jakarta.[100] Pada akhirannya Presiden Indonesia waktu itu Soeharto menarik perancangan undang-undang itu pada Juli 1973.[101]
Keseluruhannya, pada periode Orde Baru, pemerintahan berusaha memberikan ideologi Pancasila, hingga mereka tidak memberikan ruangan untuk ulasan berkenaan Piagam Jakarta.[102] Di tahun 1973, semua partai Islam dileburkan menjadi satu partai, yakni Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Di tahun 1980-an, pemerintahan Orde Baru mengharuskan semua parpol untuk jadikan Pancasila sebagai azas tunggal.[103]
1988: pembangunan peradilan agama dan ketakutan akan Piagam Jakarta
Pada 1988, pemerintahan ajukan Perancangan Undang-Undang Peradilan Agama. Partai Demokrasi Indonesia dan fraksi partai berkebangsaan yang lain merasa cemas jika pemerintahan lewat perancangan undang-undang ini akan mengaplikasikan syariat Islam.[104] Teolog Yesuit Franz Magnis-Suseno mengingatkan jika tujuan penghilangan tujuh kata dari Pembukaan UUD 1945 ditujukan untuk pastikan jika tidak ada barisan yang bisa memaksa kehendak mereka ke barisan lain.[105] Di awal Juli 1989, Pertemuan Waligereja Indonesia (KWI) dan Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) minta supaya tiap masyarakat Muslim bisa dengan bebas pilih peradilan sipil atau agama, karena menurutnya ketidaksamaan di antara Pancasila dan Piagam Jakarta ialah Pancasila tidak mengharuskan penerapan syariat Islam.[106]
Soeharto menjawab kritikan dengan pengakuan jika perancangan undang-undang ini cuma ingin merealisasikan ide Pancasila dan UUD 1945, dan menurut dia perancangan undang-undang ini tidak ada hubungannya dengan Piagam Jakarta.[104] Beberapa figur Muslim menolak keterikatan di antara perancangan undang-undang peradilan agama dengan Piagam Jakarta.[107] Mohammad Natsir mengatakan jika barisan Kristen sudah melakukan tindakan intoleran pada aspirasi-aspirasi umat Islam sejak dikeluarkannya “peringatan” untuk hapus tujuh kata dalam Piagam Jakarta pada 18 Agustus 1945. Menurut dia, bila inspirasi umat Islam terus-terusan dijegal oleh penampikan barisan Kristen, umat Islam dapat merasa seperti masyarakat kelas dua.[108]
Di lain sisi, intelektual Muslim Nurcholis Madjid bisa pahami kenapa barisan Kristen mengatakan penampikan mereka. Menurut dia, keraguan jika Perancangan Undang-Undang Peradilan Agama adalah usaha untuk merealisasikan Piagam Jakarta dipacu oleh trauma politik dari masa silam. Dia lantas ajak semua untuk lupakan trauma masa silam dan melihat perancangan undang-undang itu sebagai sesuatu proses nasional.[109] Fraksi Angkatan Membawa senjata Republik Indonesia (ABRI) mengatakan jika mereka dapat pahami ketakutan warga berkaitan perancangan undang-undang itu dan Piagam Jakarta, karena mereka memperhatikan jika dalam sejarah terjadi sejumlah usaha untuk menukar ideologi Pancasila dengan agama.[110]